Sistem Informasi Penelusuran Perkara
PENGADILAN NEGERI SIBUHUAN
INFORMASI DETAIL PERKARA



Nomor Perkara Pemohon Termohon Status Perkara
1/Pid.Pra/2020/PN Sbh Rovi Riauzi.M Cq. Kepolisian Negara RI, Cq. Kapolda Sumut, Cq. Kapolres Padang Lawas, Satuan Reskrim Minutasi
Tanggal Pendaftaran Rabu, 12 Agu. 2020
Klasifikasi Perkara Sah atau tidaknya penangkapan
Nomor Perkara 1/Pid.Pra/2020/PN Sbh
Tanggal Surat Rabu, 12 Agu. 2020
Nomor Surat 1
Pemohon
NoNama
1Rovi Riauzi.M
Termohon
NoNama
1Cq. Kepolisian Negara RI, Cq. Kapolda Sumut, Cq. Kapolres Padang Lawas, Satuan Reskrim
Kuasa Hukum Termohon
Petitum Permohonan

 

 

Pekanbaru, 11 Agustus 2020

 

KepadaYth:
Ketua Pengadilan Negeri Sibuhuan
Di -
   Jl. Kihajar Dewantara, Kel. Pasar Sibuhuan, Kec. Barumun, Kab. Padang Lawas, Provinsi Sumatera Utara – 22763

Hal :    PERMOHONAN PRAPERADILAN TENTANG TIDAK SAHNYA PENANGKAPAN/ PENETAPAN TERSANGKA/ PENAHANAN.

 

Dengan hormat,

Kami yang bertanda-tangan dibawah ini :

Asep Ruhiat, S.Ag., SH.,MH, Artion, SH, Malden Richardo Siahaan, SH., MH, Eko Indrawan, SH, Miftahul Ulum, SH, Wirya Nata Atmaja, SH, Amran, SH.,MH, Fauziah Aznur, SH, Wahyu Yandika, SH., MH, Faizil Adha, SH, Aswandi, SH, dan Ahmad Razali, SH Advokat pada Kantor Hukum Asep Ruhiat & Parners yang beralamat dan berkantor di Jl. Handayani No. 369 C Lt. II Arengka Atas Pekanbaru, Berdasarkan Surat Kuasa Khusus  Nomor : 301/SK-AR/VIII/2020 tertanggal 10 Agustus 2020 bertindak untuk dan atas nama kepentingan hukum klien kami :

Rovi Riauzi. M, Kewarganegaraan Indonesia, Tempat Tanggal Lahir Mukti Sari, 14 September 1993, Jenis Kelamin Laki-laki, Pekerjaan Wiraswasta  Alamat Jl. Pepaya RT 003 / RW 001 Desa Mukti Sari Kec. Tapung, Kab. Kampar, Prov. Riau;

Untuk selanjutnya disebut sebagai------------------------------------------------PEMOHON;

Dengan ini mengajukan Permohonan pemeriksaan Praperadilan atas pelanggaran-pelanggaran Hak-Hak Asasi Pemohon serta tidak terpenuhinya syarat formil dan materiil atas tindakan PENANGKAPAN/PENETAPAN TERSANGKA/PENAHANAN terhadap diri Pemohon dalam dugaan telah diduga melakukan Tindak Pidana Penipuan atau Penggelapan dan/atau menyuruh melakukan atau turut melakukan perbuatan itu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 378 atau 372 Jo. Pasal 55  KUHPidana yang telah dikenakan atas diri PEMOHON, yang dilakukan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia, Cq. Kepala Kepolisian Daerah Sumatera Utara, Cq. Kepala Kepolisian Resort Padang Lawas Satuan Reskrim, berkedudukan di   Jl. Lintas Riau – Bulu Sonik No.01 Padang Lawas;

Untuk selanjutnya disebut sebagai----------------------------------------------TERMOHON;

Adapun yang menjadi dasar dan alasan-alasan Permohonan Praperadilan ini adalah sebagai berikut :

DASAR HUKUM PENGAJUAN PERMOHONAN PRAPERADILAN.

Bahwa Permohonan Praperadilan ini tentang tidak sahnya secara hukum atas Penangkapan/Penetapan Tersangka/Penahanan terhadap Rovi Riauzi. M oleh Sat Reskrim Kantor Kepolisian Resor Padang Lawas (Termohon) tanpa adanya surat panggilan terlebih dahulu yang diterima oleh Pemohon;
Bahwa pemohon di tangkap oleh Sat Reskrim Kantor Kepolisian Resor Padang Lawas pada tanggal pada tanggal 29 Juli 2020 di rumah pemohon tanpa ada meninggalkan surat penangkapan kepada keluarga terutama kepada istri pemohon yang sedang hamil tua;
Bahwa dari tanggal 29 juli sampai tanggal 31 juli pemohon tidak di perbolehkan pulang oleh Sat Reskrim Kantor Kepolisian Resor Padang Lawas;
Bahwa pada tanggal 31 agustus Sat Reskrim Kantor Kepolisian Resor Padang Lawas memeriksa pemohon sebagai saksi dan di tanggal yang sama langsung memeriksa pemohon sebagai tersangka dan mengeluarkan surat perintah penangkapan No.Pol : SP.Kap/52/VII/2020/Reskrim tertanggal 30 Juli 2020, dan surat perintah Penahanan Nomor : SP.Han/31/VII/2020/Reskrim tertanggal 31 Juli 2020;

 

Bahwa Pemohon ditetapkan sebagai Tersangka oleh Termohon dalam perkara dugaan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 378 atau 372 Jo. Pasal 55  KUHPidana  berdasarkan Laporan Polisi Nomor : LP/12/II/2020/2020/SU/PALAS/SPKT tanggal 19 Februari 2020.
Bahwa perlu diketahui dan dipahami lahirnya lembaga Praperadilan adalah karena terinspirasi oleh prinsip-prinsip  yang bersumber dari adanya hak Habeas Corpus Act dalam system Peradilan Anglo Saxon, yang memberi Jaminan Fundamental terhadap Hak Asasi Manusia khususnya hak mendapat perlindungan hukum.
Bahwa Habeas Corpus Act memberikan hak pada seseorang melalui Surat Perintah Pengadilan menuntut Pejabat yang melaksanakan Hukum Pidana Formil tersebut agar tidak melanggar Hukum (ilegal) atau tegasnya melaksanakan Hukum Pidana Formil tersebut benar-benar sah sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.
Bahwa tindakan upaya paksa, seperti penangkapan,penetapan tersangka penggeledahan, penyitaan, penahanan, dan penuntutan yang dilakukan dengan melanggar peraturan perundang-undangan pada dasarnya merupakan suatu tindakan perampasan Hak Asasi Manusia.
Bahwa menurut Andi Hamzah (1986:10) Praperadilan merupakan tempat mengadukan pelanggaran Hak Asasi Manusia, yang memang pada kenyataannya penyusunan KUHAP banyak disemangati dan berujukan pada Hukum Internasional yang telah menjadi Internasional Customary Law.
Bahwa Praperadilan menjadi satu mekanisme kontrol terhadap kemungkinan tindakan sewenang-wenang dari penyidik atau penuntut umum dalam melakukan tindakan tersebut. Hal ini bertujuan agar hukum ditegakkan dan perlindungan Hak Asasi Manusia sebagai Tersangka/Terdakwa dalam pemeriksaan penyidikan dan penuntutan. Disamping itu, Praperadilan bermaksud sebagai pengawasan secara horizontal terhadap hak-hak Tersangka/Terdakwa dalam pemeriksaan pendahuluan (vide Penjelasan Pasal 80 KUHAP).
Bahwa Berdasarkan pada nilai itulah Penyidik atau Penuntut Umum dalam melakukan tindakan penetapan Tersangka, penangkapan, Penggeledahan, Penyitaan, Penahanan, dan Penuntutan agar lebih mengedepankan asas dan prinsip kehati-hatian dalam menetapkan seseorang menjadi Tersangka.
Bahwa keberadaan lembaga Praperadilan sebagaimana diatur dalam bab X bagian kesatu KUHAP dan BAB XII bagian kesatu KUHAP serta Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 21/ PUU-XII/2014 tertanggal 28 Oktober 2014, secara jelas dan tegas dimaksud sebagai sarana kontrol atau pengawasan Horizontal untuk menguji  keabsahan upaya koreksi terhadap penggunaan wewenang oleh Aparat Penegak Hukum, dan sebagai upaya koreksi terhadap penggunaan wewenang apabila dilaksanakan secara sewenang-wenang dengan maksud dan tujuan lain diluar dari yang ditentukan secara tegas dalam KUHAP, guna menjamin perlindungan terhadap hak asasi setiap orang termasuk hak Pemohon mendapatkan perlindungan terhadap perbuatan Tindak Pidana.
Bahwa Lembaga Praperadilan sebagai mana diatur dalam Pasal 77 sampai dengan Pasal 83 KUHAP dan Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 21/ PUU-XII/2014 tertanggal 28 Oktober 2014 adalah suatu lembaga yang berfungsi untuk menguji apakah tindakan yang dilakukan oleh penyidik sudah sesuai dengan ketentuan Perundang-Undangan dan telah dilakukan secara cermat dan teliti.
Bahwa tujuan Praperadilan seperti yang tersirat dalam penjelasan Pasal 80 KUHAP adalah untuk menegakkan hukum, keadilan, kebenaran melalui sarana pengawasan horizontal sehingga essensi Praperadilan adalah untuk mengawasi tindakan yang dilakukan oleh Penyidik atau Penuntut Umum terhadap proses  pemeriksaan Perkara Pidana.
Bahwa pendapat Indriyanto Seno Adji bahwa KUHAP menerapkan lembaga Praperadilan untuk melindungi seseorang dalam pemeriksaan pendahuluan terhadap tindakan-tindakan Kepolisian dan atau Kejaksaaan yang melanggar hukum dan merugikan seseorang (In Casu Pemohon), dimana lembaga Praperadilan ini berfungsi sebagai Lembaga Pengawas terhadap tindakan yang dilaksanakan oleh Pejabat Penyidik dalam batas tertentu.
Bahwa upaya Praperadilan ini dilakukan semata-mata mencari kebenaran hukum, sebagaimana pendapat A. Yahya Harahap yang menyatakan :Salah satu fungsi upaya hukum praperadilan adalah sebagai pengawasan horizontal atas segala tindakan upaya paksa yang dilakukan aparat penegak hukum untuk, kepentingan pemeriksaan perkara pidana agar benar-benar tindakan tersebut tidak bertentangan dengan peraturan hukum dan perudang-undangan.
Bahwa apa yang diuraikan diatas yaitu Lembaga Praperadilan sebagai upaya Pengawasan Penggunaan Wewenang guna menjamin Perlindungan Hak Asasi Manusia telah dituangkan secara tegas dalam Konsideran menimbang huruf (a) dan (c) KUHAP dengan sendirinya menjadi sprit dan ruh atau jiwa yang berbunyi: (a) Bahwa Negara Republik Indonesia adalah Negara Hukum berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 yang menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia serta yang menjamin segala Warga Negara bersama kedudukanny didalam hukum dan Pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan Pemerintahan yang baik dan tidak ada kecuali . (c) Bahwa Pembangunan Hukum Nasional yang demikian itu dibidang hukum acara Pidana adalah masyarakat menghayati hak dan kewaibannya dan untuk meningkatkan pembinaan sikap para pelaksana penegak hukum sesuai dengan fungsi dan wewenang masing-masing kearah tegaknya hukum, keadilan dan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia, ketertiban serta kepastian hukum demi terselenggaranya Negara hukum sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945.
Bahwa kosideran yang menjadi spirit dan ruh KUHAP diatas juga ditegaskan kembali dalam penjelasan Umum KUHAP pada angka 2 Paragraf Ke 6 yang berbunyi: “Pembangunan yang sedemikian itu dibidang Hukum Acara Pidana bertujuan, agar masyarakat dapat menghayati hak dan kewajiban dan agar dapat dicapai serta ditingkatkan pembinaan sikap para pelaksana hukum sesuai dengan fungsi dan wewenang masing-masing kearah tegaknya mantabnya Hukum, keadilan dan perlindungan yang merupakan pengayoman terhadap harkat serta martabat manusia, ketertiban dan kepastian Hukum demi tegaknya Republik Indonesia sebagai Negara Hukum sesuai dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945”.
Bahwa tindakan penyidik untuk menempatkan seorang Tersangka didalam rumah tahanan merupakan salah satu proses dan sistem penegakan hukum pidana sebagaimana dimaksud dalam KUHAP, oleh karenanya proses tersebut haruslah diikuti dan dijalankan dengan prosedur yang benar sebagaimana diatur dan ditentukan dalam KUHAP atau perundang-undangan yang berlaku. Artinya, setiap proses yang akan ditempuh haruslah dijalankan secara benar dan tepat sehingga asas Kepastian Hukum dapat terjaga dengan baik dan pada gilirannya hak asasi yang akan dilindungi tetap dapat dipertahankan. Apabila prosedur yang harus diikuti untuk mencapai proses tersebut (penahanan tersangka) tidak dipenuhi, maka sudah tentu proses tersebut menjadi cacat dan haruslah dikoreksi/dibatalkan;

Pasal 77 KUHAP yang menyatakan sebagai berikut:

Pengadilan Negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-undang ini tentang :

sah tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan.
Ganti kerugian dan/atau Rehabilitasi bagi seseorang yang Perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.

Putusan Mahkamah Konstitusi  Republik Indonesia Nomor: 21/PUU-XII/2014 tertanggal 24 Oktober 2014.

Mengadili

Mengabulkan permohonan Pemohon;Frasa “bukti permulaan” , “bukti permulaan yang cukup” , dan “bukti yang cukup” sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981, Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai bahwa “bukti permulaan” , “bukti permulaan yang cukup” , dan “bukti yang cukup” adalah minimal dua alat bukti yang termuat dalam Pasal 184 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
Pasal 77 huruf A Undang-Undang No 8 Tahun 1981 tentang Hukum Aacara Pidana (lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 No. 76 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 3209) bertentang dengan undang-undang dasar Negara republic Indonesia tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai termasuk, penetapan tersangka, penggeledahan, penyitaan.
Pasal 77 huruf A Undang-Undang No 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 No. 76 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 3209) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai termasuk penetapan tersangka, penggeledahan, penyitaan.

Bahwa berdasarkan angka 1.3 dan angka 1.4 Amar Putusan Mahkamah   Konstitusi  Republik Indonesia Nomor: 21/PUU-XII/2014tertanggal 28 Oktober 2014 maka dalam menetapkan seseorang sebagai Tersangka Penyidik harus terlebih dahulu membuat atau memiliki suatu produk hukum yang dapat dipertanggung jawabkan berupa penetapan orang yang diduga  melakukan Tindak Pidana sebagai Tersangka.

18.Bahwa berdasarkan Putusan Mahkamah   Konstitusi  Republik Indonesia Nomor: 21/PUU-XII/2014 tertanggal 28 Oktober 2014 frasa”bukti permulaan yang cukup” yang tertuang dalam Pasal 1 angka 14 Pasal 17 dan Pasal 21 (1) KUHAP harus dimaknai sebagai minimal 2 alat bukti yang termuat dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP yang menyatakan :

      “alat bukti yang sah ialah”

Keterangan saksi
Keterangan ahli
Surat
Petunjuk
Keterangan Terdakwa.

19.Bahwa berdasarkan pengertian alat-alat bukti yang dimaksud Pasal 184 ayat (1) Jo Pasal 1 angka 26 Jo Pasal 1 angka 27Jo Pasal 1 angka 28, Pasal 187 KUHAP, maka alat bukti yang dapat diperoleh pada tingkat penyidikan hanya keterangan saksi, keterangan ahli dan surat.

20.Bahwa sebelum menetapkan seorang sebagai Tersangka, maka penyidik harus terlebih dahulu memperoleh setidaknya minimal Dua alat bukti yang sah yang dapat diperoleh ditingkat penyidikan yang  menerangkan dan menunjukkan adanya perbuatan pidana yang dilakukan calon Tersangka pada tempat dan waktu (locus dan tempus delicti) tindak pidana yang disangkakan, bukan berdasarkan kecurigaan subjektif penyidik.

21.Bahwa sering terdapat kekeliruan pendapat sebagian orang (termasuk penyidik) yang beranggapan dengan adanya beberapa saksi dianggap telah cukup membuktikan kesalahan Tersangka, karena belum tentu keterangan para saksi tersebut secara kualitatif memadai sebagai alat bukti yang sah dan menunjukkan adanya perbuatan pidana Tersangka pada tempat dan waktu (locus dan tempus delicti) tindak pidana yang disangkakan Yahya Harahap : pembahasan permasalahan dan penerapan KUHAP edisi halaman 289.

22.Bahwa Putusan Mahkamah Agung no. 28 K/Kr/1977 tanggal 17 April 1978 menyatakan: “keterangan saksi saja, sedangkan Terdakwa memungkiri kejahatan yang dituduhkan kepadanya dan keterangan saksi-saksi lainnya tidak memberikan petunjuk terhadap kejahatan yang dituduhkan, belum dapat membuktikan kesalahan Terdakwa”

23.Bahwa demi keadilan dan kepastian hukum, maka dengan adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor: 21/PUU-XII/2014tertanggal 28 Oktober 2014 Penyidik harus memperhatikan, mencermati dan memperhatikan prinsip-prinsip yang ada dalam Putusan Mahkamah Agung no. 28 K/Kr/1977 tanggal 17 April 1978 tersebut dalam menetapkan seorang sebagai Tersangka.,

24.Bahwa sesuai dengan perkembangan hukum atas Putusan Mahkamah   Konstitusi  Republik Indonesia Nomor: 21/PUU-XII/2014 tertanggal 28 Oktober 2014 dalam menetapkan Tersangka penyidik harus dapat mengadopsi dan menerapkan juga cara menilai keterangan saksi yang ditentukan oleh Pasal 185 ayat (6) KUHAP dengan sungguh-sungguh memperhatikan:

Persesuaian keterangan saksi satu dengan yang lain;
Persesuaian keterangan saksi dengan alat bukti yang lain
Alasan mungkin dipergunakan saksi untuk memberikan keterangan yang tertentu;
Cara hidup dan kesusilaan saksi serta segala sesuatu yang ada pada umumnya dapat mempengaruhi tidaknya keterangan itu dipercaya.

25.Bahwa dalam perkembangannya pengaturan Praperadilan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1 angka 10  Jo. Pasal 77 KUHAP, sering terjadi tidak dapat menjangkau fakta perlakuan aparatur penegak hukum yang nyata-nyata merupakan pelanggaran hak asasi seseorang, sehingga yang bersangkutan tidak dapat memperoleh  perlindungan hukum yang nyata dari Negara. Untuk itu perkembangan yang demikian melalui dapat diakomodirnya mengenai sah tidaknya penetapan Tersangka/ penangkapan, penahanan dan sah tidaknya penyitaan telah diakui merupakan wilayah kewenangan Praperadilan, sehingga dapat meminimalisasi terhadap perlakukan sewenang-wenang oleh Aparat  Penegak Hukum. Dalam kaitan perubahan dan perkembangan hukum dalam masyarakat yang demikian, bukanlah sesuatu yang mustahil terjadi dalam praktik system hukum di Negara manapun apalagi di dalam system hukum common law, yang telah merupakan bagian dari system hukum di Indonesia. Peristiwa hukum inilah menurut (Alm) Satjipto Rahardjo disebut “terobosan hukum” (legal-breakthrough) atau hukum yang prorakyat (hukum progresif)  dan menurut Mochtar Kusumaatmadja merupakan hukum yang baik karena sesuai dengan perkembangan nilai-nilai keadilan yang hidup dan berkembang dalam masyarakat.

26.Bahwa selain itu telah terdapat beberapa Putusan Pengadilan yang memperkuat dan melindungi hak-hak Tersangka, sehingga lembaga Praperadilan juga dapat memeriksa dan mengadili keabsahan penetapan Tersangka seperti yang terdapat dalam perkara sebagai berikut :

Putusan Pengadilan Negeri Bengkayang No. 01/Pid.Prap/2011/PN.BKY tanggal 18 Mei 2011.
Putusan Mahkamah Agung No. 88 PK/PID/2011 tanggal 17 Januari 2012.
Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 38/Pid.Prap/2012/Pn.Jkt.Sel tanggal 27 November 2012.
Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 04/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel tanggal 15 Februari 2015.
Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 36/Pid.Prap/2015/Pn.Jkt.Sel tanggal 26 Mei 2015.

27.Bahwa berdasarkan Putusan Mahkamah   Konstitusi  Republik Indonesia Nomor: 21/PUU-XII/2014 tertanggal 28 Oktober 2014 upaya Permohonan Pemeriksaan Praperadilan merupakan langkah hukum yang sangat tepat untuk menguji “bukti permulaan” yang digunakan penyidik dalam menetapkan seorang sebagai Tersangka (In casu Pemohon).

 

 

ALASAN PERMOHONAN PRAPERADILAN.

Bahwa hal-hal yang sudah dikemukan diatas adalah bagian yang tidak terpisahkan dengan alasan Permohonan Praperadilan.

FAKTA-FAKTA.

Bahwa Pemohon sangat keberatan ditetapkan sebagai tersangka/penangkapan dan Penahanan oleh Termohon dengan dalil-dalil hukum sebagai berikut :

Bahwa Pemohon adalah admin di CV.  Jaya Manunggal mandiri yang di tunjuk secara lisan oleh Direktur CV. Jaya Manunggal mandiri dan Pelapor adalah selaku Mitra Investasi Sapi Perah berkedudukan di Padang Lawas;
Bahwa Pemohon bertugas sebagai penerimaan Investasi di wilayah Padang lawas dan diserahkan kepada Direktur CV. Jaya Manunggal mandiri dan siserahkan lagi ke Pusat yaitu CV. Tri Manunggal Jaya yang berkedudukan di Ponorogo, dan setelah Frovit cair dan dikirim ke CV. Jaya Manunggal mandiri dan Pemohon menyerahkan frovit ke mitra dalam hal ini Pelapor.
Bahwa Berdasarkan fakta dilapangan pada tanggal 29 juli 2020 pemohon di jemput secara paksa (Upaya Paksa) oleh anggota Satuan Reskrim Padang lawas tanpa adanya surat panggilan terlebih dahulu;
Bahwa Satuan Reskrim Padang lawas tidak ada meninggalkan surat penjemputan paksa ataupun surat penangkapan kepada keluarga pemohon terutama kepada istri pemohon yang sedang hamil tua;
Bahwa dari tanggal 29 juli sampai tanggal 31 juli pemohon tidak di perbolehkan pulang oleh Sat Reskrim Kantor Kepolisian Resort Padang Lawas;
Bahwa pada tanggal 31 agustus Sat Reskrim Kantor Kepolisian Resor Padang Lawas memeriksa pemohon sebagai saksi dan di tanggal yang sama langsung memeriksa pemohon sebagai tersangka dan mengeluarkan surat perintah penangkapan No.Pol : SP.Kap/52/VII/2020/Reskrim tertanggal 30 Juli 2020, dan surat perintah Penahanan Nomor : SP.Han/31/VII/2020/Reskrim tertanggal 31 Juli 2020;

Bahwa Pemohon ditetapkan sebagai Tersangka oleh Termohon dalam perkara dugaan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 378 atau 372 Jo. Pasal 55  KUHPidana  berdasarkan Laporan Polisi Nomor : LP/12/II/2020/2020/SU/PALAS/SPKT tanggal 19 Februari 2020.
Bahwa pada saat Upaya Paksa dilakukan salah satu anggota Satuan Reskrim Padang Lawas menyampaikan bahwa Pemohon akan diambil keterangan sebagai saksi atas dugaan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 378 atau 372 Jo. Pasal 55  KUHPidana di Kepolisian Sektor Tapung, akan tetapi Pemohon langsung dibawa ke Polres Padang lawas untuk di ambil keterangan sebagai saksi dan di tahan tampa ada surat perintah penahanan;

Bahwa surat perintah penangkapan No. Pol : SP.Kap/52/VII/2020/Reskrim tertanggal 30 Juli 2020, dan surat perintah Penahanan Nomor : SP.Han/31/VII/2020/Reskrim tertanggal 31 Juli 2020 diperlihatkan dan diserahkan kepada Pemohon pada tanggal 31 Juli 2020;
Bahwa penetepan tersangka pada diri Pemohon tidak adanya transparansi dari pihak Termohon. Dalam hal ini, Termohon tidak pernah memberikan pemberitahuan atau surat apapun kepada Pemohon mengenai bukti-bukti yang kuat (minimal dua alat bukti) yang berhubungan dengan keterangan mengenai persangkaan pasal-pasal dan peristiwa pidana yang mengakibatkan Pemohon ditetapkan sebagai Tersangka , ditangkap dan ditahan;

Bahwa atas laporan sebagaimana dalam Laporan nomor: Nomor : LP/12/II/2020/2020/SU/PALAS/SPKT tanggal 19 Februari 2020 tidak sah secara hukum menetapkan Pemohon sebagai Tersangka dan ditahan terhadap diri Pemohon juga Termohon telah melakukan penyitaan dari Pemohon adalah sebagai berikut:

1 (satu) kartu ATM BRI No. rekening : 5413-10-025508-53-4 atas nama Rovi Riauzi M;.
1 (satu) kartu ATM Bank Mandiri No. rekening : 108-00-1581325-7 atas nama Rovi Riauzi M;

TENTANG HUKUMNYA :

TIDAK ADA ALAT BUKTI TERMOHON YANG MENUNJUKKAN PEMOHON DAPAT DIJADIKAN SEBAGAI TERSANGKA DAN/ ATAU DITAHAN

Bahwa alat bukti yang dijadikan Termohon untuk menetapkan Pemohon sebagai Tersangka / ditahan adalah alat bukti yang tidak berkualitas yang memadai sebagai alat bukti dan tidak saling bersuaian satu dengan yang lain serta tidak memenuhi minimal 2 alat bukti yang sah secara hukum.
Bahwa Termohon dalam menetapkan diri Pemohon sebagai Tersangka dengan dugaan Penggelapan Penipuan dan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 378 atau 372 Jo. Pasal 55  KUHPidana hanya berdasarkan Laporan dari Pelapor dan satu orang saksi.
Bahwa Untuk menetapkan seseorang menjadi tersangka haruslah diadakannya gelar perkara terlebih dahulu sesuai dengan PERKAP (Peraturan Kapolri) No. 12 tahun 2009 Pasal 44 : dalam hal kepentingan penyidikan, Penyidik dapat melakukan gelar perkara, a. biasa b. luar biasa. Pasal 45 ayat (1) berbunyi : gelar perkara biasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 huruf a dilaksanakan pada tahap a. awal penyidikan; pertengahan penyidikan; dan  c. ahkir penyidikan. Pasal 47 ayat (1) Gelar Perkara biasa yang diselenggarakan pada tahap pertengahan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam pasal 45 ayat 1 huruf b bertujuan : a. Penentuan Tersangka;
Bahwa ketika temohon melakukan penangkapan, termohon tidak memperlihatkan surat tugas dan tidak  memberikan kepada pemohon surat perintah penangkapan yang mencantumkan identitas pemohon dan menyebutkan alasan penangkapan serta uraian singkat perkara kejahatan dan tempat pemohon akan diperiksa sebagaimana diatur dalam pasal 18 ayat 1 undang-undang nomor 8 tahun 1981 tentang kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang berbunyi :

“ Pelaksanaan tugas penangkapan dilakukan oleh petugas kepolisian Negara republik Indonesia  dengan memperlihatkan surat tugas serta memberikan kepada tersangka surat perintah penangkapan yang mencantumkan identitas tersangka  dan menyebutkan alasan penangkapan serta uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan serta tempat ia diperiksa”

Disamping itu tembusan surat perintah penangkapan tersebut harus segera diberikan kepada keluarga tersangka setelah penangkapan dilakukan sebagaimana diatur dalam pasal 18 ayat 3 KUHAP, berbunyi “Tembusan surat perintah penangkapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus diberikan kepada keluarganya segera setelah penangkapan dilakukan”

Jika pihak kepolisian melakukan penangkapan tanpa memperlihatkan surat tugas dan/atau surat perintah penangkapan dan tidak segera memberikan tembusan surat perintah penangkapan kepada pihak keluarga tersangka maka penangkapan tersebut tidak sah.

Bahwa dari tanggal 29 juli 2020 pada saat pemohon ditangkap sampai tanggal 31 juli 2020 pemohon maupun keluarga tidak menerima surat perintah penangkapan ataupun surat penjemputan paksa dari termohon;

Bahwa berdasarkan pasal 33 Peraturan Kapolri Nomor 14 tahun 2012 berbunyi :

ayat 1 “ Penagkapan sebagaimana dimaksud pasal 26 huruf B , dilakukan oleh penyidik atau penyidik pembantu terhadap orang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup”

ayat 2 “ penyidik atau penyidik pembantu yang melakukan penangkapan wajib dilengkapi dengan surat perintah penangkapan yang ditandatangani oleh atasan penyidik selaku penyidik “

ayat 3 “ Surat perintah penangkapan yang ditandatangani oleh pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat 2 tembusannya wajib disampaikan pada keluarga tersangka dan/ atau  penasehat hukum setelah tersangka ditangkap”

ayat 4 “prosedur dan teknis penangkapan dilaksanakan sesuai  ketentuan peraturan perundang-undangan”  

Bahwa Termohon dalam menetapkan Pemohon sebagai Tersangka dan melakukan Penahanan  dalam dugaan tindak pidana, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 378 atau 372 Jo. Pasal 55  KUHPidana oleh Kepala Kepolisian Resort Padang Lawas  yang dilakukan oleh Sat Reskrim Kantor  Kepolisian Resor Padang Lawas kepada Pemohon berdasar pada surat  Laporan Nomor : LP/12/II/2020/2020/SU/PALAS/SPKT tanggal 19 Februari 2020.
Bahwa Penggelapan sebagaimana diatur dalam Pasal 372 adalah sebagai berikut : “Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum memiliki barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan diancam karena penggelapan”,

Unsur Pasal 372: a) Barang siapa, b) Menguasai secara melawan hukum, c) Suatu benda, d) sebagaian atau seluruhnya milik orang lain dan e) benda tersebut ada padanya bukan karena kejahatan,

Kemudian Penipuan adalah perbuatan sebagaimana diatur dalam ketentuan pasal 378 KUHP pada Bab XXV tentang Perbuatan Curang (bedrog) bunyi selengkapnya pasal 378 KUHP adalah sebagai berikut:

“ Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu,atau martabat palsu,dengan tipu muslihat ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang diancam dengan penipuan dengan pidana penjara paling lama empat tahun” ;

Berdasarkan bunyi pasal tersebut diatasunsur-unsur dalam dalam perbuatan penipuan adalah :

Dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri dengan melawan hukum
Menggerakkan orang untuk menyerahkan barang sesuatu atau supaya memberi hutang maupun menghapus piutang ;
Dengan menggunakan salah satu upaya atau cara penipuan (memakai nama palsu,tipu muslihat, rangkaian kebohongan)

Unsur point c diatas yaitu mengenai cara adalah unsur pokok delik yang harus dipenuhi untuk mengkategorikan suatu perbuatan dikategorikan sebagai penipuan. Demikian sebagaimana kaidah dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung nomor 1601.k/pid/1990 tanggal 26 juli 1990 yang mengatakan

“Unsur pokok delict penipuan (ex Pasal 378 KUHP) adalah terletak pada cara/upaya yang telah digunakan oleh sipelaku delict untuk menggerakkan orang lain agar menyerahkan sesuatu barang”

Bahwa sejak semula  pemohon sudah menjelaskan kepada pelapor, Pemohon sudah menjelaskan pemohon bertugas sebagai penerimaan Investasi di wilayah Padang lawas dan diserahkan kepada Direktur CV. Tri Jaya Manunggal dan diserahkan lagi ke Pusat yaitu CV. Tri Manunggal Jaya yang berkedudukan di Ponorogo, dan setelah Frovit cair dan dikirim ke CV. Tri Jaya Manunggal dan Pemohon menyerahkan frovit ke mitra:
Bahwa berdasarkan  hal tersebut diatas sangatlah jelas bahwa  tidak ditemukan adanya unsur tindak pidana penipuan berupa  tipu muslihat atau rangkaian kebohongan yang dilakukan oleh pemohon;
Bahwa ketika  pelapor Masuk Investasi CV. Tri Jaya Manunggal telah melakukan perjanjian dengan Direktur pusat CV. Tri Jaya Manunggal dan pelapor sudah menerima provit dari CV. Tri Jaya Manunggal dan pemohon yang bekerja sebagai admin di perwakilan padang lawas tidak menggunakan tipu muslihat atau rangkaian  kebohongan supaya pelapor masuk investasi  kecuali jika terdapat unsur nama atau martabat palsu,tipu muslihat, atau kebohongan;
Bahwa apabila seseorang tidak menjalankan isi perjanjian maka ia telah melakukan perbuatan cedera janji atau wan prestasi. Pasal 1243 Kitab Undang-undang Hukum Perdata,menyatakan :  “ Penggantian biaya,rugi dan bunga karena tak dipenuhinya suatu perikatan, barulah mulai diwajibkan,apabila si berutang, setelah dinyatakan lalai memenuhi perikatannya, tetap melalaikannya,atau jika sesuatu yang harus diberikan atau dibuatnya, hanya dapat diberikan atau dibuat dalam tenggang waktu yang telah dilampaukannya.
Bahwa berdasarkan pasal 1243 KUHper,bahwa seseorang dinyatakan  telah melakukan cidera janji atau wanprestasi apabila tidak memenuhi kewajiban yang diwajibkan kepadanya padahal tenggang waktu yang diberikan kepadanya untuk melakukan kewajiban tersebut telah lewat.

Dengan berpatokan pada KUHPerdata, maka setiap penafsiran,tindakan, maupun penyelesaian sengketa yang muncul harus dirujuk pada perjanjian dan KUHPerdata. Termasuk untuk menentukan suatu pihak berada dalam keadaan wan prestasi, yang banyak ahli hukum perdata mengkategorikan wan prestasi kedalam 4 (empat) keadaan, yaitu :

Sama sekali tidak memenuhi;
Tidak tunai memenuhi prestasi;
Terlambat memenuhi Prestasi;
Keliru Memenuhi prestasi.

Sehingga, pihak yang ingkar janji dapat dikatakan berada dalam keadaan wanprestasi apabila telah menerima teguran (Somasi/ingebrekestelling) supaya memenuhi kewajibannya untuk memenuhi kewajiban.

Bahwa berdasarkan hal tersebut diatas sudah sangat jelas bahwa hubungan hukum antara pemohon dengan pelapor adalah murni hubungan keperdataan  dimana unsure penipuan dan penggelapan tidak terpenuhi.

 

Bahwa dalam menjalankan tugasnya kepolisian harus tunduk pada aturan disiplin anggota kepolisian sebagaimana tertuang dalam Peraturan pemerintah nomor 2 tahun 2003 tentang peraturan disiplin anggota kepolisian Negara Republik Indonesia ( Peraturan Disiplin Kepolisian). Dalam pasal 5 peraturan disiplin kepolisian disebutkan bahwa dalam rangka memelihara kehidupan bernegara dan bermasyarakat, anggota kepolisian Negara Republik Indonesia dilarang :

Melakukan hal hal yang dapat menurunkan kehormatan dan martabat Negara,pemerintah,atau kepolisian Negara republik Indonesia;
Melakukan kegiatan politik praktis;
Mengikuti aliran yang dapat menimbulkan perpecahan atau mengancam persatuan dan kesatuan bangsa;
Bekerja sama dengan orang lain didalam atau diluar lingkungankerja dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan pribadi,golongan,atau pihak lain yang secara langsung atau tidak langsung merugikan kepentingan Negara;
Bertindak selaku perantara bagi pengusaha atau golongan untuk mendapatkan pekerjaan atau pesanan dari kantor/instansi Kepolisian Negara Republik Indonesia demi kepentingan pribadi;
Memiliki saham /modal dalam perusahaan yang kegiatan usahanya berada dalam ruang lingkup kekuasaannya;
Bertindak sebagai pelindung ditempat perjudian,prostitusi,dan tempat hiburan;
Menjadi penagih piutang atau menjadi pelindung orang yang punya hutang;
 Menjadi perantara/makelar perkara;
Menelantarkan keluarga.

20. Bahwa berdasarkan dalil-dalil hukum diatas, maka dapat dinyatakan secara hukum Termohon belum dapat menemukan minimal 2 (dua) alat bukti untuk menetapkan Pemohon sebagai Tersangka, dan kalaupun ada  2(dua) alat bukti maka bukan lah merupakan tindak pidana akan tetapi perkara murni Perdata.

21.  Bahwa perbuatan Termohon yang menetapkan Pemohon sebagai Tersangka sangat bertentangan dengan Putusan Mahkamah   Konstitusi  Republik Indonesia Nomor: 21/PUU-XII/2014tertanggal 28 Oktober 2014 yang menyatakan frasa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup” , dan “bukti yang cukup” sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP oleh Mahkamah Konstitusi dinyatakan harus dimaknai sebagai “minimal dua alat bukti” sesuai dengan Pasal 184 KUHAP.

 II. PENETAPAN PEMOHON SEBAGAI TERSANGKA DAN PENAHANAN MERUPAKAN TINDAKAN  KESEWENANG-WENANGAN  DAN BERTENTANGAN DENGAN ASAS KEPASTIAN HUKUM SERTA HAK ASASI MANUSIA (HAM)

Bahwa dalam melaksanakan wewenang Termohon untuk menjalankan penyelidikan/penyidikan (in casu, termasuk di dalam wewenang penyidikan tersebut terkandung wewenang untuk menetapkan Tersangka), mutlak harus dilakukan berdasarkan asas Kepastian Hukum. Asas Kepastian Hukum memiliki pengertian Asas dalam Negara hukum yang mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan dan keadilan dalam setiap menjalankan tugas dan wewenangnya;
Bahwa asas Kepastian Hukum tersebut harus dijalankan dengan menjunjung tinggi prosedur yang telah digariskan oleh hukum acara. Dalam setiap proses pidana sebagaimana ditentukan oleh KUHAP, didahului dengan adanya laporan atau aduan atau ada peristiwa pidana secara tertangkap tangan. Laporan/aduan atau peristiwa tertangkap tangan tersebut menjadi dasar untuk dapat dilakukannya penyelidikan dan penyelidikan tersebut menjadi dasar untuk dapat dilakukannya penyidikan. Sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 angka 5 KUHAP, penyelidikan diartikan sebagai “serangkaian tindakan untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukannva penyidikan”. Sedangkan penyidikan ditentukan dalam Pasal 1 angka 2 KUHAP, yaitu “ serangkaian tindakan dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam KUHAP untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya”. Dan pengertian yang telah ditentukan oleh KUHAP, maka untuk mencapai proses penentuan Tersangka, haruslah terlebih dahulu dilakukan serangkaian tindakan untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana (penyidikan). Untuk itu, diperlukan keterangan dari pihak-pihak yang terkait dan bukti-bukti awal yang dapat dijalin sebagai suatu rangkaian peristiwa sehingga dapat ditentukan ada tidaknya suatu peristiwa pidana. Setelah proses tersebut dilalui, maka dilakukan rangkaian tindakan untuk mencari serta mengumpulkan bukti agar terang suatu tindak pidana yang terjadi. Untuk itu kembali lagi haruslah dilakukan tindakan-tindakan untuk meminta keterangan dari pihak-pihak yang terkait dan pengumpulan bukti-bukti sehingga peristiwa pidana yang diduga sebelumnya telah menjadi jelas dan terang, dan oleh karenanya dapat ditentukan siapa tersangkanya. Rangkaian prosedur tersebut merupakan cara atau prosedur hukum yang wajib ditempuh untuk mencapai proses penentuan tersangka. Adanya prosedur tersebut dimaksudkan agar tindakan penyelidik/penyidik tidak sewenang-wenang mengingat seseorang mempunyai hak asasi yang harus dilindungi:
Berdasarkan pendapat Guru Besar Hukum Pidana Indonesia, Eddy OS Hiariej, dalam bukunya yang berjudul “Teori dan Hukum Pembuktian”, untuk menetapkan seseorang sebagai TERSANGKA, Termohon haruslah melakukannya berdasarkan “BUKTI PERMULAAN”. Eddy OS Hiariej kemudian menjelaskan bahwa alat bukti yang dimasudkan di sini adalah sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 184 KUHAP, apakah itu keterangan saksi, keterangan ahli, surat, keterangan terdakwa ataukah petunjuk.  Eddy OS Hiariej berpendapat bahwa kata-kata “bukti permulaan” dalam Pasal 1 butir 14 KUHAP, tidak hanya sebatas alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 184 KUHAP,  namun juga dapat meliputi barang bukti yang dalam konteks hukum pembuktian universal dikenal dengan istilah physical evidence atau real evidence. Selanjutnya untuk menakar bukti permulaan, tidaklah dapat terlepas dari pasal yang akan disangkakan kepada tersangka. Pada hakikatnya pasal yang akan dijeratkan berisi rumusan delik yang dalam konteks hukum acara pidana berfungsi sebagai unjuk bukti. Artinya, pembuktian adanya tindak pidana tersebut haruslah berpatokan kepada elemen-elemen tindak pidana yang ada dalam suatu pasal. Dan dalam rangka mencegah kesewenang-wenangan penetapan seseorang sebagai tersangka ataupun penangkapan dan penahanan, maka setiap bukti permulaan haruslah dikonfrontasi antara satu dengan lainnya termasuk pula dengan calon tersangka. Mengenai hal yang terakhir ini, dalam KUHAP tidak mewajibkan penyidik untuk memperlihatkan bukti yang ada padanya kepada Tersangka,  akan tetapi berdasarkan doktrin, hal ini dibutuhkan untuk mencegah apa yang disebut dengan istilah unfair prejudice atau persangkaan yang tidak wajar. Hal tersebut sangat terkait dengan ranah hukum pembuktian, oleh karenanya perlu dijelaskan lebih lanjut perihal pembuktian yang ditulis dalam buku Eddy OS Hiariej tersebut di atas, bahwa dalam konteks hukum pidana, pembuktian merupakan inti dari persidangan perkara pidana,  karena yang dicari dalam hukum pidana adalah kebenaran materiil. Kendatipun demikian pembuktian dalam perkara pidana sudah dimulai sejak tahap penyelidikan untuk mencari dan menemukan peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan. Pada tahap ini sudah terjadi pembuktian, dengan tindakan penyidik mencari barang bukti, maksudnya guna membuat terang suatu tindak pidana serta menentukan atau menemukan tersangkanya. Dengan demikian maka dapat dimengerti, bahwa pembuktian dilihat dari perspektif hukum acara pidana yakni ketentuan yang membatasi sidang pengadilan dalam usaha mencari dan mempertahankan kebenaran, baik oleh hakim, penuntut umum, terdakwa dan penasehat hukum,  kesemuanya terikat pada ketentuan dan tata cara, serta penilaian terhadap alat-alat bukti yang ditentukan oleh undang-undang. Tidak dibenarkan untuk melakukan tindakan yang leluasa sendiri dalam menilai alat bukti, dan tidak boleh bertentangan dengan undang-undang. Dalam perkara pidana, pembuktian selalu penting dan krusial. Pembuktian memberikan landasan dan argumen yang kuat kepada penuntut umum untuk mengajukan tuntutan. Pembuktian dipandang sebagai sesuatu yang tidak memihak, objektif dan memberikan informasi kepada hakim untuk mengambil kesimpulan dari suatu kasus yang sedang disidangkan. Terlebih dalam perkara pidana, pembuktian sangatlah esensi karena yang dicari dalam perkara pidana adalah kebenaran materiil.

Berbeda dengan pembuktian perkara lainnya, pembuktian dalam perkara pidana sudah dimulai dari tahap pendahuluan, yakni diawali pada tahap penyelidikan dan penyidikan.Pada tahap pendahuluan/penyelidikan tersebut, tata caranya jauh lebih rumit bila dibandingkan dengan hukum acara lainnya.

Bahwa bertindak sewenang-wenang juga dapat diartikan menggunakan wewenang (hak dan kekuasaan untuk bertindak) melebihi apa yang sepatutnya dilakukan sehingga tindakan dimaksud bertentangan dengan ketentuan Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku.
Bahwa Penyalahgunaan wewenang juga telah diatur dalam Pasal 17 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan yang berbunyi :

Badan dan/atau pejabat pemerintahan dilarang menyalahgunakan wewenang;
Larangaan penyalahgunaan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi :

Larangan melampaui wewenang;
Larangan mencampuradukan wewenang; dan/atau
Larangan bertindak sewenang-wenang.

Pasal 52 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan disebutkan tentang syarat sahnya sebuah Keputusan, yakni meliputi :

Ditetapkan oleh pejabat yang berwenang
Dibuat sesuai prosedur; dan
Substansi yang sesuai dengan objek Keputusan.

Bahwa sebagaimana telah Pemohon uraikan diatas, bahwa Penetapan Tersangka  dan Penahanan Pemohon dilakukan dengan tidak terpenuhinya prosedur menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku yakni;

Bahwa penetapan Tersangka yang dilakukan Termohon tidak dilengkapi minimal 2 (dua) alat bukti cukup dan menyakinkan untuk menetapkan Pemohon sebagai Tersangka.
Bahwa Termohon tidak meneliti dengan kebenaran dan secara seksama mengenai alat bukti yang dijadikan dasar penetapan Pemohon sebagai Tersangka diduga melanggar Pasal 372 dan 378 KUHP.
Bahwa bukti surat yang  disita oleh Termohon dari Pemohon dan Pelapor bukan lah merupakan alat bukti untuk menetapkan Pemohon sebagai tersangka dan menahan Pemohon karena bukan merupakan hasil kejahatan dan bukan pula digunakan untuk kejahatan, tapi merupakan alat perkara perdata sesuai dangan pasal 1866 KUHPerdata yang berbunyi “Alat Pembuktian Meliputi : Bukti tertulis, Bukti Saksi, Persangkaan, Pengakuan dan Sumpah”.

Bahwa Termohon tidak pernah memberitahukan tentang telah diterbitkannya surat perintah penyidikan sehingga perbuatan Termohon merupakan tindakan yang sewenang-wenang dikarenakan bertentangan dengan Pasal  109 ayat (1) KUHAP Jo. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 130/PPU-XII/2015 tanggal 11 Januari 2015 yang menyatakan: Pasal 109 ayat (1) undang-undang nomor 8 tahun 1981 tentang hukum acara pidana (lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1981 nomor 776, tambahan lembaran Negara nomor 3209) bertentangan dengan undang-undang dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 secara bersyarat dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang frasa” penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut Umum” tidak dimaknai” penyidik wajib  memberitahukan dan menyerahkan surat perintah dimulainya penyidikan kepada penuntut umum,  pelapor dan terlapor, dan korban/pelapor dalam waktu paling lambat 7 (tujuh hari setelah dikeluarkannya surat perintah penyidikan. Bahwa sampai saat ini SPDP / surat Perintah dimulainya Penyidikan tidak ada diterima oleh Pemohon;
Bahwa kesewenangan-wenangan tindakan Termohon tergambar jelas secara hukum yaitu Termohon tidak pernah memberikan kepada Pemohon surat penggilan terhadap pemohon dan langsung menjemput paksa  pemohon dan di bawa ke Pores Padang Lawas tanpa meninggalkan surat penjemputan paksa ataupun surat penangkapan kepada keluarga pemohon terutama kapada istri pemohon, dan semenjak tangal 29 juli 2020 sampai tanggal 31 juli 2020 tidak di perbolehkan pulang ;
 Bahwa Pemohon tidak mengetahui alat bukti apa yang di miliki oleh Termohon dalam menetapkan Pemohon sebagai Tersangka dan menahan Pemohon di Polres padang lawas, Bahkan SPDP tidak pernah disampaikan kepada pemohon sampai saat Permohonan ini diajukan;
Bahwa berdasarkan dalil-dalil hukum diatas, maka dapat dinyatakan secara hukum perbuatan Termohon yang menetapkan Pemohon sebagai Tersangka dan ditahan sangat bertentangan dengan Pasal 56 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administari Pemerintahan adalah sebagai berikut:

(1)”Keputusan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (1) huruf a merupakan keputusan yang tidak sah

(2) Keputusan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat(1) huruf b dan c merupakan keputusan yang batal atau dapat dibatal.

Bahwa berdasarkan seluruh uraian tersebut di atas, maka sudah seharusnya menurut hukum PEMOHON memohon agar Pengadilan Negeri SIBUHAN  berkenan menjatuhkan Putusan sebagai berikut:

Menyatakan menerima dan mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya;
Menyatakan dan menetapkan penetapan Pemohon ROVI RIAUZI.M  sebagai Tersangka dan melakukan Penahanan dengan dugaan melakukan tindak pidana Penggelapan dan Penipuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 372 Jo Pasal 378 KUHP   adalah tidak Sah Dan Batal Demi Hukum Dengan segala Akibat Hukumnya;
Menghukum dan memerintah Termohon menghentikan Penyidikan perkara Aquo dengan Menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) terhadap laporan Polisi Nomor : LP/12/II/2020/2020/SU/PALAS/SPKT tanggal 19 Februari 2020;
Menyatakan surat penangkapan tertanggal 30 Juli 2020 yang diberikan dan ditandatangani oleh Pemohon Pada tanggal 31 Juli 2020, dan surat perintah penahanan Nomor: SP.Han/31/ VII/ 2020 Reskrim tertanggal 31 Juli  2020 yang menetapkan Pemohon sebagai Tersangka oleh Termohon terkait peristiwa pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 372 Jo Pasal 378 KUHP adalah TIDAK SAH dan tidak berdasar atas hukum, dan oleh karenanya Penetapan a quo tidak mempunyai kekuatan mengikat;
Menghukum dan memerintahkan Termohon untuk mengembalikan:

1 (satu) kartu ATM BRI No. rekening : 5413-10-025508-53-4 atas nama Rovi Riauzi M;.
1 (satu) kartu ATM Bank Mandiri No. rekening : 108-00-1581325-7 atas nama Rovi Riauzi M;

dikembalikan kepada Pemohon setelah putusan ini dibacakan.

Menyatakan segala produk hukum lanjutan Termohon yang dihasilkan dari Penyidikan dan Penetapan Pemohon selaku Tersangka secara mutatis mutandis Tidak Sah dan Batal Demi Hukum Dengan Segala Akibat Hukum;
Memerintahkan kepada Termohon untuk mengeluarkan Pemohon dari Rumah Tahanan POLRES PADANG LAWAS;
Menghukum dan memerintahkan Termohon untuk tunduk dan patuh pada putusan ini.
Menghukum Termohon untuk membayar biaya perkara yang timbul dalam perkara a quo.

Atau Apabila Hakim berpendapat lain mohon Putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono).

Demikianlah Permohonan Praperadilan ini kami ajukan ke kepada Ketua Pengadilan Negeri Sibuhuan cq. Hakim yang memeriksa Permohonan ini, atas perkenannya kami ucapkan terimakasih.

Hormat Kami,

Kuasa Hukum Pemohon;

 

Asep Ruhiat, S.Ag., SH. ,MH                                                                                       Artion, SH

 

Malden Ricardo Siahaan, SH.,MH                                                                Eko Indrawan, SH

 

 

Miftahul Ulum, SH                                                                                Wirya Nata Atmaja, SH

 

Amran, SH., MH                                                                                            Fauziah Aznur, SH 

 

 

Wahyu Yandika, SH., MH                                                                                  Faizil Adha, SH

 

 

Aswandi, SH                                                                                                   Ahmad Razali, SH                                                                                                                                                                         

 

Pihak Dipublikasikan Ya